Rama YB Mangunwijaya, Pr - Pembela Orang Pinggiran
Yusuf Bilyarta Mangunwijaya, Pr. (lahir di Ambarawa, Ambarawa, Kabupaten Semarang, 6 Mei 1929 – meninggal di Jakarta, 10 Februari 1999 pada umur 69 tahun), dikenal sebagai rohaniwan, budayawan, arsitek, penulis, aktivis dan pembela wong cilik (bahasa Jawa untuk "rakyat kecil"). Ia juga dikenal dengan panggilan populernya, Rama Mangun (atau dibaca "Romo Mangun" dalam bahasa Jawa).
Romo Mangun adalah anak sulung dari 12 bersaudara pasangan suami istri Yulianus Sumadi dan Serafin Kamdaniyah
Romo Mangun berkisah tentang Teologi
Romo Mangun memaparkan realitas hidup manusia. Realitas yang di tampilkan yaitu menusia yang hidup di zaman modern, di mana manusia dihadapkan pada pola pikir ke arah rasio. Pola pikir ini merupakan salah satu ciri modernitas yang melibatkan penjabat tinggi (baca: atasan). Karena terlalu mengagungkan rasio, orang menjadi kurang peka akan perasaan.
Hati (perasaan) yang tunpul memberi jalan bagi kekerasan, penindasan terutama terhadapa kaum kecil. Suasana kehidupan ini menghasilkan orang-orang yang takut dan menderita. Bagaimana melihat relasi antara Allah dan manusia dalam latarbelakang kehidupan semacam itu? Allah Bapa yang bagaimana yang bisa digambarkan oleh orang-orang kalau masyarakat hanya mengenal figur bapak yang otoriter, korupsi, suka cerai dan berjudi.
Romo Mangun mengacu pada ayat kitab suci, ”Yesus adalah jalan, kebenaran, dan hidup.” Fakta keberagaman menuntut gereja terbuka dan menyatakan bahwa di luar gereja pun Roh Kudus hadir dan membawa keselamatan.
Yang menarik adalah usaha dari Romo Mangun yang melihat realitas hidup, kepekaan akan mereka yang tersingkirkan. Sungguh menarik bahwa realitas itu dihubungkan lebih dalam, mengarah ke Yang Maha Tinggi. Menjunjung tinggi kebenaran dengan berjalan atau berusaha bersama dengan mereka yang mengalami ketidakadilan, pada jalan, kebenaran dan hidup Kristus. Hal ini menarik karena kita berteologi tidak terlepas dari pengalaman kongkrit kita sendiri dan di tengah-tengah masyarakat. Memperjuangkan kebenaran dan memberi harapan yang jelas akan kerinduan masyarakat.
Pergulatan teologi adalah pergulatan tentang Allah, Allah sejauh dialami dalam pengalaman dan yang serempak pula tetap bersembunyi di baliknya. Memahami Allah sejauh pengalaman mengandaikan kesungguhan ‘mata’ untuk melihat kehadiranNya yang mengagungkan dalam kesederhanaan yang mungkin pula tampak begitu biasa. Berteologi, seyogianya mengangkat Allah dalam pengalaman dan menghadirkan Allah dalam pengalaman. Menghadapkan dan mempersoalkan Allah dengan kenyataan hari ini, merupakan sebuah langkah di dalam memaknai suatu kebenarana bahwa Allah ternyata tampak pada hari ini. Maka berteologi tentang Allah berarti berteologi pada kenyataan hari ini, dengan aneka fenomena dan warna kehidupannya. Karena itu, ajaran dan tradisi teologi yasng muncul dan yang telah terwarisi sejak hari kemarin, perlu dibaca secara baru dengan tidak mengabaikan tardisi dan kiatab suci sebagai pijakannya. Teolog perlu merumuskan warna teologi yang bersandar pada tradisi dan berkiprah pada fakta hidup manusia. Maka berteologi sekali lagi menegaskan, bahwa tataran teologi adalah tataran Allah yang terlibat, dan berteologi berarti pula berada dalam alur manusia yang terbuka pada Allah.
Ode bagi teologi yang ’terlibat’
Menghadirkan Allah sejauh pengalaman, bukan merujuk pada keterlibatan Allah pada tradisi, tetapi keterlibatan Allah pada hari ini. Tetapi, berusahalah agar jangan sampai hari ini, membuat kita menutup mata pada kebenaran tradisi, kalau saja pengalaman hari ini menjadi dominasi pijakan kita. Pengalaman hari ini, tidak semuas secara langsung menghadirkan konsep tentang Allah, karena Allah pun masih bisa tersembunyi di balik rumitnya pengalaman kita. Maka tradisi jangan dipisahkan dan dilupakan dan pengalaman jangan diabaikan tanpa kata. Mungkinkah satu metode berteologi sanggup menjawabi dan hadir pada setiap kenyataan hidup manusia? Berbicara tentang Allah jangan sejauh Allah teatpi juga yang terlibat. Pandanglah hari ini, dan tengoklah yang telah terhidupi kemarin. Kini, katakan kepada dunia, bahwa aku ada bagi Allah dan berkisah tentangNya dalam kataku yang terucap hari ini dan dalam kesungguhan tindakan saat ini, serta saat demi saat…itulah Ode bagi teologi yang ’terlibat’!
Perjuangannya dalam membela kaum miskin, tertindas dan terpinggirkan oleh politik dan kepentingan para pejabat dengan "jeritan suara hati nurani" menjadikan dirinya beroposisi selama masa pemerintahan Presiden Soeharto.[6]
Romo Mangun adalah anak sulung dari 12 bersaudara pasangan suami istri Yulianus Sumadi dan Serafin Kamdaniyah
“…esensi warta Tuhan pasti sangat sederhana. Namun, mengapa teologimenjadi sukar dan memerlukan waktu bertahun-tahundalam dunia pikir elit yang memerlukan metodologi serta pembahasaan yang cangih,dan karenanya tidak mungkin terjangkau oleh ‘sembarang’ orang?”(Y.B. Mangunwijaya, Memuliakan Allah Mengangkat Manusia)
Tutur katanya santun, namanya masuk dalam media
surat kabar nasional ketika ia akan mogok makan ketika pemerintah
(Kementrian Lingkungan Hidup) akan menata sungai dengan menggusur
perkampungan pinggir Kali Code.
Ia memiliki argumen bagaimana menata perkampungan tanpa harus menggusur masyarakat miskin.
Ia juga ikut terlibat memperhatikan rakyat yang menjadi korban penggusuran untuk pembangunan Waduk Kedung Ombo, Jawa Tengah.
Kecintaannya dalam memajukan dunia pendidikan yang
memerdekakan, bisa dilihat ketika memprakarsai sekolah dasar
eksperimental SD Mangunan, di daerah Kalasan DIY,
Dalam kapasitasnya sebagai seorang romo ia memang
milik umat katolik. Namun dalam kapasitasnya sebagai pembela wong cilik,
ia bukan saja beliau ini milik orang katolik tetapi milik semua orang
yang terutama masyarakat Kali Code dan yang pernah merasakan sentuhannya.
Bisa dilihat ketika ia meninggal betapa banyak
kalangan (tanpa pandang agama) yang merasa kehilangan. Tahun 2000
rumahnya yang artistik di pinggir Kali Code Yogykarta oleh para
sahabatnya dan masyarakat dijadikan museum sebagai penghormatannya.
Pembelaan Romo Mangun terhadap wong cilik tidak hisapan jempol
seperti para pemimpin sekarang. Namun sudah menjadi falsafah hidup beliau yang
mengalir dalam desiran darah dan denyut jantung kehidupan sang pengarang novel
legendaris "burung-burung manyar" tersebut.
Sebagai seorang rohaniawan Katholik, Romo
Mangun sangat getol dalam memanifestasikan teologi progresif revolusioner atau
sering juga disebut teologi pembebasan. Teologi yang memihak kaum kecil atau
membebaskan kaum tertindas dari berbagai macam penindasan layaknya penindasan
ekonomi, politik, budaya, dll.
Romo Mangun terkenal sebagai orang yang ngopeni
(perhatian) terhadap sesuatu yang tidak terawat. Sikap perhatian Romo Mangun
tersebut sebagian terlihat dari karya-karya arsitektur beliau yang telah
mendapat lusinan penghargaan. Selain itu, penghargaan-penghargaan sastra
seperti penghargaan sastra se-Asia Tenggara Ramon Magsaysay juga beliau peroleh
pada tahun 1996. Penghargaan bergengsi
Aga Khan yang merupakan penghargaan tertinggi karya arsitektural di dunia
berkembang, untuk rancangan pemukiman di tepi Kali Code, Yogyakarta juga di
nobatkan kepada beliau. Jerih payah beliau dalam menata permukiman miskin
sepanjang Kali Code mengangkat beliau menjadi bapak arsitektur modern Indonesia
kala itu.
Buku berjudul "Kotak Hitam Sang
Burung Manyar" ini merupakan petikan nasihat-nasihat keseharian Romo
Mangun yang terekam baik oleh muridnya yakni Romo Yatno, sang penulis buku
tersebut. Kehadiran buku ini terasa sangat bermanfaat mengingat nihilnya karya
yang memuat nasihat-nasehat Romo Mangun secara lengkap.
Secara garis besar buku ini memuat
pelbagai nasehat Romo Mangun yang terbagi menjadi 3 bagian utama.
Pertama, menyoal kehidupan dan ajaran
gerejawi yang digeluti oleh Romo Mangun. Bagi Romo Mangun, teologi dan sosial
adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan, begitu juga dengan gereja dan
masyarakat. Romo Mangun mendobrak sekat-sekat teologis gerejawi dan lingkungan
masyarakat menjadi sebuah kesatuan yang harmonis.
Kedua, keberpihakan kepada kaum yang lemah. Dalam satu
petikannya Romo Mangun menyatakan “pagarilah rumahmu dengan piring, bukan
dengan beling”. Petikan tersebut ditujukan kepada orang kaya angkuh yang sering
tidak melihat lingkungan sekitar. Begitu juga dengan pesan beliau yang begitu
dalam “berpihak yang lemah, harus siap berjuang sendiri”.
Ketiga, belajar kearifan dari lingkungan. Kedetilan Romo
Mangun tidak hanya ditunjukkan dalam keahlian sastra dan arsitekturnya saja,
melainkan dalam kehidupan sosial. Beliau sering belajar kearifan dari hal-hal
sepele dan remeh. Seperti belajar cara berterimakasih dari orang kecil dan
mengkritik kemewahan WC dibanding gereja.
Membaca buku ini, seakan kita diajak
mengikuti perjalanan keseharian Romo Mangun yang nyentrik, penuh nasihat,
humoris, sederhana dan tentu adalah pluralis. Tentu tidak semua keteladanan
Romo Mangun bisa terekam penuh dalam buku yang hanya setebal 110 halaman ini.
Namun, petikan-petikan dari ucapan Romo Mangun ini masih relevan dan segar dengan
kondisi bangsa kita saat ini, di mana toleransi dan kehidupan beragama kita
dewasa ini yang semakin mengkhawatirkan.
Kata demi kata dan ungkapan dalam buku
ini tidak saja enak untuk dibaca dan didengar, karena orisinalitasnya begitu
kentara. Namun lebih baik lagi jika isi buku ini ditindaklanjuti dan dijabarkan
dalam kehidupan sehari-hari.
Romo Mangun memaparkan realitas hidup manusia. Realitas yang di tampilkan yaitu menusia yang hidup di zaman modern, di mana manusia dihadapkan pada pola pikir ke arah rasio. Pola pikir ini merupakan salah satu ciri modernitas yang melibatkan penjabat tinggi (baca: atasan). Karena terlalu mengagungkan rasio, orang menjadi kurang peka akan perasaan.
Hati (perasaan) yang tunpul memberi jalan bagi kekerasan, penindasan terutama terhadapa kaum kecil. Suasana kehidupan ini menghasilkan orang-orang yang takut dan menderita. Bagaimana melihat relasi antara Allah dan manusia dalam latarbelakang kehidupan semacam itu? Allah Bapa yang bagaimana yang bisa digambarkan oleh orang-orang kalau masyarakat hanya mengenal figur bapak yang otoriter, korupsi, suka cerai dan berjudi.
Romo Mangun mengacu pada ayat kitab suci, ”Yesus adalah jalan, kebenaran, dan hidup.” Fakta keberagaman menuntut gereja terbuka dan menyatakan bahwa di luar gereja pun Roh Kudus hadir dan membawa keselamatan.
Yang menarik adalah usaha dari Romo Mangun yang melihat realitas hidup, kepekaan akan mereka yang tersingkirkan. Sungguh menarik bahwa realitas itu dihubungkan lebih dalam, mengarah ke Yang Maha Tinggi. Menjunjung tinggi kebenaran dengan berjalan atau berusaha bersama dengan mereka yang mengalami ketidakadilan, pada jalan, kebenaran dan hidup Kristus. Hal ini menarik karena kita berteologi tidak terlepas dari pengalaman kongkrit kita sendiri dan di tengah-tengah masyarakat. Memperjuangkan kebenaran dan memberi harapan yang jelas akan kerinduan masyarakat.
Pergulatan teologi adalah pergulatan tentang Allah, Allah sejauh dialami dalam pengalaman dan yang serempak pula tetap bersembunyi di baliknya. Memahami Allah sejauh pengalaman mengandaikan kesungguhan ‘mata’ untuk melihat kehadiranNya yang mengagungkan dalam kesederhanaan yang mungkin pula tampak begitu biasa. Berteologi, seyogianya mengangkat Allah dalam pengalaman dan menghadirkan Allah dalam pengalaman. Menghadapkan dan mempersoalkan Allah dengan kenyataan hari ini, merupakan sebuah langkah di dalam memaknai suatu kebenarana bahwa Allah ternyata tampak pada hari ini. Maka berteologi tentang Allah berarti berteologi pada kenyataan hari ini, dengan aneka fenomena dan warna kehidupannya. Karena itu, ajaran dan tradisi teologi yasng muncul dan yang telah terwarisi sejak hari kemarin, perlu dibaca secara baru dengan tidak mengabaikan tardisi dan kiatab suci sebagai pijakannya. Teolog perlu merumuskan warna teologi yang bersandar pada tradisi dan berkiprah pada fakta hidup manusia. Maka berteologi sekali lagi menegaskan, bahwa tataran teologi adalah tataran Allah yang terlibat, dan berteologi berarti pula berada dalam alur manusia yang terbuka pada Allah.
Ode bagi teologi yang ’terlibat’
Menghadirkan Allah sejauh pengalaman, bukan merujuk pada keterlibatan Allah pada tradisi, tetapi keterlibatan Allah pada hari ini. Tetapi, berusahalah agar jangan sampai hari ini, membuat kita menutup mata pada kebenaran tradisi, kalau saja pengalaman hari ini menjadi dominasi pijakan kita. Pengalaman hari ini, tidak semuas secara langsung menghadirkan konsep tentang Allah, karena Allah pun masih bisa tersembunyi di balik rumitnya pengalaman kita. Maka tradisi jangan dipisahkan dan dilupakan dan pengalaman jangan diabaikan tanpa kata. Mungkinkah satu metode berteologi sanggup menjawabi dan hadir pada setiap kenyataan hidup manusia? Berbicara tentang Allah jangan sejauh Allah teatpi juga yang terlibat. Pandanglah hari ini, dan tengoklah yang telah terhidupi kemarin. Kini, katakan kepada dunia, bahwa aku ada bagi Allah dan berkisah tentangNya dalam kataku yang terucap hari ini dan dalam kesungguhan tindakan saat ini, serta saat demi saat…itulah Ode bagi teologi yang ’terlibat’!
Kiprah Romo Mangun:
Sastra
Romo Mangun dikenal melalui novelnya yang berjudul Burung-Burung Manyar. Mendapatkan penghargaan sastra se-Asia Tenggara Ramon Magsaysay pada tahun 1996.[1] Ia banyak melahirkan kumpulan novel seperti di antaranya: Ikan-Ikan Hiu, Ido, Homa, Roro Mendut, Durga/Umayi, Burung-Burung Manyar dan esai-esainya tersebar di berbagai surat kabar di Indonesia. Buku Sastra dan Religiositas yang ditulisnya mendapat penghargaan buku non-fiksi terbaik tahun 1982.Arsitektur
Dalam bidang arsitektur, beliau juga kerap dijuluki sebagai bapak arsitektur modern Indonesia. Salah satu penghargaan yang pernah diterimanya adalah Penghargaan Aga Khan untuk Arsitektur[2], yang merupakan penghargaan tertinggi karya arsitektural di dunia berkembang, untuk rancangan pemukiman di tepi Kali Code, Yogyakarta. Ia juga menerima The Ruth and Ralph Erskine Fellowship pada tahun 1995, sebagai bukti dari dedikasinya terhadap wong cilik.[3] Hasil jerih payahnya untuk mengubah perumahan miskin di sepanjang tepi Kali Code mengangkatnya sebagai salah satu arsitek terbaik di Indonesia.[4] Menurut Erwinthon P. Napitupulu, penulis buku tentang Romo Mangun yang akan diluncurkan pada akhir tahun 2011, Romo Mangun termasuk dalam daftar 10 arsitek Indonesia terbaik.[4]Politik
Kekecewaan Romo terhadap sistem pendidikan di Indonesia menimbulkan gagasan-gagasan di benaknya. Dia lalu membangun Yayasan Dinamika Edukasi Dasar.[5] Sebelumnya, Romo membangun gagasan SD yang eksploratif pada penduduk korban proyek pembangunan waduk Kedung Ombo, Jawa Tengah, serta penduduk miskin di pinggiran Kali Code, Yogyakarta.Perjuangannya dalam membela kaum miskin, tertindas dan terpinggirkan oleh politik dan kepentingan para pejabat dengan "jeritan suara hati nurani" menjadikan dirinya beroposisi selama masa pemerintahan Presiden Soeharto.[6]
Kematian
Rama Mangun meninggal pada hari Rabu, 10 Februari 1999 pukul 14:10 WIB di Rumah Sakit St. Carolus, Jakarta, setelah terkena serangan jantung saat berbicara di Hotel Le Meridien, Jakarta. Beliau dimakamkan di makam biara komunitasnya di Kentungan, Yogyakarta.[7]Pendidikan
Sumber:
1. memoar
3. wikipedia
4. teologi
0 komentar:
Posting Komentar